skip to main |
skip to sidebar
Pernah marah? Pasti pernah. Sama, saya juga. Dan saya tau bagaimana cara mengatasi amarah saya. Saya tau apa yang sebaiknya saya lakukan dan apa yang tidak. Saya tau kapan harus berbicara dan kapan harus menutup mulut. Saya tau kapan harus membela diri dan kapan harus menahan diri. Saya tau kapan harus bertindak dan kapan harus menahan kehendak. Saya tau kapan harus memaafkan dan kapan harus meminta maaf. Saya tau apa saja kelebihan saya dan apa kekurangan saya. Saya tau apa yang baik buat saya dan apa yang tidak. Saya tau mengapa saya tidak perlu menyesali segala sesuatu, karena penyesalan sangat tidak berguna. Maka itu saya TIDAK PERNAH menyesali segala sesuatu. Semua kejadian pasti ada hikmahnya, saya yakin itu. Kemenangan terbesar adalah ketika kita bisa memusnahkan dendam di hati, mengalahkan amarah dalam diri, dan memaafkan orang yang sangat kita benci. Cara terbaik untuk memusnahkan dendam di hati adalah dengan mengalahkan amarah dalam diri, cara terbaik untuk mengalahkan amarah dalam diri adalah dengan memaafkan orang yang kita benci, dan cara terbaik untuk memaafkan orang yang kita benci adalah dengan mencoba mengerti siapa dia dan mengapa ia berbuat demikian kepada saya. Saya memang bukan TUHAN yang bisa dengan mudah memaafkan orang2 yang telah membuat murka, tapi saya juga bukan IBLIS yang mau diperbudak kebencian dan oleh karenanya tidak pernah mau memaafkan. Jika saya masih terlalu angkuh untuk memaafkannya, cara terbaik adalah dengan menjauh darinya. Dan ketika saya merasa tergoda untuk menumpahkan amarah, maka akan saya tuangkan melalui bait puisi, surat caci maki, yang TIDAK AKAN saya sampaikan kepada orang yang bersangkutan. Balas dendam adalah perbuatan bodoh, dan hampir semua orang bodoh melakukannya. Ketika saya menemukan kenyataan yang bertentangan dengan prinsip saya, saya tau apa yang sebaiknya saya lakukan. Apakah saya harus mengorbankan prinsip dan menyesuaikan diri dengan keadaan atau apakah saya harus berpegang teguh pada prinsip namun nantinya akan menemui kehancuran. Saya memang bukan orang yang religius, tapi saya mempercayai adanya Tuhan. Dan jika saya sudah bersumpah demi nama Tuhan, maka hal itu sangat benar adanya, tidak akan berani saya untuk mengingkarinya. Sungguh ironis jika niat baik saya dituding sebagai strategi perang. Saya tidak menginginkan adanya perang. Saya ingin ada kedamaian. Demi Tuhan.
No comments:
Post a Comment