Eh nih gue udah cukup punya nyali untuk publish renungan gue minggu kemarin...
Minggu, 17 Maret 02
Renungan mingguan…
Seneng.. banget… Satu doa lagi terkabul dalam minggu ini. Meski dia masih butuh waktu untuk bisa maafin Nie sepenuhnya, tapi setidaknya dia udah mau ngobrol sama Nie. Itu kemajuan yang sangat berarti, mengingat selama ini dia selalu menolak mentah2 usaha Gue dengan berbagai cara untuk berdamai. Nggak sia2 pengorbanan Gue nahan perasaan untuk nggak sakit hati atas apapun yang dia lakukan atas dasar kebenciannya, karena senggak2nya usaha Gue selama ini udah mulai kelihatan hasilnya. Satu lagi pelajaran terbukti, bahwa kebencian tidak perlu dibalas dengan kebencian. Papa udah ngajarin Gue akan hal ini 5 tahun yang lalu. Dan beliau memberi contoh yang sangat baik, sangat berharga buat Gue, dan mungkin juga orang lain yang mengerti…
Lima tahun yang lalu… awal 1997…
Udah 6 bulan Gue backstreet sama seseorang yang bisa dibilang Psycho. Kenapa dibilang Psycho? Nanti juga lo bakal tau. FYI, Psycho ini pernah Gue tolak, namun setelah 2 tahun mendekati Gue, akhirnya Gue luluh juga. Awalnya, dia memang bersikap sangat nice, karena harus diakui dia memang sangat2 sayang Gue. Tapi rasa sayang yang berlebihan itu rupanya menimbulkan sifat posessifnya. Dia menjadi sangat, sangat, sangat, dan sekali lagi sangat over posessif. Setiap hal yang Gue lakukan harus sepengetahuan dia dan wajib mendapat persetujuan darinya. Dari soal sekolah, ekskul, telpon temen, apa yang Gue lakukan sehari2, semua dia kontrol dengan sangat teliti. Dan gawatnya, setiap tindakan yang Gue lakukan yang bertentangan dengan persetujuan dia, selalu dianggap sebagai kesalahan, yang bisa membawa malapetaka buat Gue. Apakah kata “malapetaka” tadi terdengar berlebihan? Gue rasa nggak. Karena yang Gue maksud malapetaka itu adalah: kemarahannya yang nggak bisa terkontrol, yang… lo gak bakal bisa ngebayangin gimana mengerikan. Udah nonton AADC? Tau gimana karakter bokapnya Alya? Nah seperti itulah. Persis. Atau kalo lo udah baca buku Jendela Jendela karya Fira Basuki, dia persis tokoh Aji Saka. Jika marah, dia seperti orang yang hilang kendali, dan bisa melukai siapa aja, terutama gue, dan dirinya sendiri. Tapi setelah itu, dia merengek2 seperti anak kecil, memohon2 maaf, bersimpuh di depan Gue, dan membasahi telapak kaki Gue dengan air matanya. Pernah, Gue minta putus. Mau tau apa jawabannya? Tonjokan di mata kanan Gue yang menyebabkan silinder yang terus bertambah hingga sekarang… Tapi setelah itu dia juga menyakiti dirinya dengan menyilet pergelangan tangannya…
Pernah juga dia ngebawa Gue ke danau di Cinere samping Pura, dan menyodorkan sebilah pisau, sambil berkata, “Tusuk aku sekarang juga hingga mati. Cuma itu satu2nya cara supaya aku bisa berhenti mencintai Nie.” (cwih!) Itu, cuma sedikit contoh dari semua tindakan nekadnya. Lo nggak akan mau pusing2 denger seluruhnya. Dan itu semua sangat menyakitkan.
Gue nggak ngerti lagi gimana caranya bisa lepas dari dia. Gue melarikan diri dari dia sepulang sekolah (karena dia selalu menjemput gue), hari itu juga dia terror temen2 sekelas gue lewat telpon! Sepulang les LIA, gue berusaha melarikan diri lagi, tapi bodohnya malah masuk ke dalam toilet wanita, saking bingungnya. Satu jam gue get stuck di dalem toilet itu, bingung, nggak tau mesti gimana. Gue takut. Takut banget. Akhirnya gue keluar juga, dan dia masih ada di sana. Dan, seperti bisa ditebak, dia marah. Sangat marah. Seperti udah gue bilang tadi, elo gak bakal bisa ngebayangin gimana nyereminnya dia kalo marah. Sampe2 gue takut pulang malem itu, takut mama papa tau masalah ini…
Dan, yang gue takutkan saat itu terjadi. Mama papa tau juga. Tapi ternyata hal itu justru menjadikan segalanya lebih baik. Sangat lebih baik. Mereka marah, itu pasti. Tapi setelah itu, Gue dapat perlindungan. Bukan pembelaan, tapi perlindungan. Keesokannya orang tua turun tangan. Dia dan bokapnya ke rumah Gue. Saat itu, dia dan Gue ditanya, mau gimana. Dia bilang, sayang banget sama Gue, dan nggak mau kehilangan Gue. Tapi Gue tegas2 bilang, Gue nggak mau lagi sama dia. Ya jelaslah, gimana Gue bisa tetep sayang sama orang seperti itu. Gimana dia bisa bilang sayang, kalo jelas2 dia udah nyakitin Gue fisik & batin. Dan parahnya, orang tuanya itu tipe2 yang over protective, yang nggak mau anaknya disalahkan, selalu membela anaknya dan yakin bahwa anaknya benar, nggak peduli apapun yang udah dilakukan anak itu. Gosh…
Setelah sidang itu, dia benci setengah mampus sama Gue. Sama, Gue juga. Tapi, dengan bijaknya mama bilang, “Nggak perlu ditanggepin. Kalo kamu juga marah dan benci, dia justru akan merasa menang. Santai aja.” Nggak Cuma itu. Papa juga ngasih satu contoh tindakan yang nggak bisa Gue mengerti saat itu. Si Psycho, yang waktu itu baru lulus kuliah dan tinggal ngurus skripsi, malah direkrut untuk kerja sama Papa. Seolah2, papa berkata, bahwa: “Kebencian nggak perlu dibalas dengan kebencian. Selagi bisa, balaslah dengan kebaikan. Nanti juga ada hasilnya.”
Dan, memang ada hasilnya. Lambat laun dia mulai bisa berdamai, malah berbalik keluarganya jadi respect sama keluarga Gue. Dan, yang menyenangkan, dia ketemu jodoh dari kerjaan itu. Sekarang dia udah menikah dengan anak buah papa juga, dan udah dikaruniai dua anak. Jadi, Gue bisa tenang, dia nggak lagi ngejar2 Gue dengan kebencian sekaligus kecintaanya. Dia nggak lagi ganggu2 Gue. Coba kalo dulu Gue terprovokasi akan semua tindakannya, balas dendam, dan kalo papa mama nggak ngajarin Gue semua hal itu… Kalau papa mama juga ikut2an membenci dia, kan bisa aja kita juga ngejelek2in keluarganya.. Tapi itu semua nggak perlu, karena setiap orang yang waras pasti bisa tau mana yang sesungguhnya benar. Jadi, yang waras ngalah aja deh dulu... ^_^ Untunglah, semuanya udah berakhir… Dengan win win solution… Meski semua kejadian itu sempet bikin gue takut untuk mulai lagi... Dan butuh waktu dua tahun buat mulihin keberanian untuk membuka diri lagi nerima yang baru...
Ugh… what a long story, eh? Well, Gue nggak sedang berdongeng loch. Ini semua kisah nyata dari masa lalu Gue yang sebenernya nggak enak untuk diinget. Gue Cuma berusaha membagi pengalaman yang berharga, yang sesungguhnya udah lama banget Gue pendam dan males banget Gue ceritain ke orang lain...
Hey, where are these tears comin' from? Oh well... Tears have a cleansing quality for they release the turbulance churning around inside looking for an appropriate exit. Tears are an appropriate exit. When a man cries, it doesnt mean he's fallin' apart, rite? And I'm cryin' in comfort.... =)
No comments:
Post a Comment